Minggu, 23 September 2012

Kenali Komplikasi Kehamilan


Saat mengetahui dirinya positif hamil, Siska (33), mama dari Ciledug, Tangerang, berusaha menanggapinya dengan biasa. Ia tak berani berharap banyak. Pasalnya, ia telah mengalami dua kali keguguran. Dua bulan setelah kehamilan pertama, mulai muncul flek darah. Dokter mengatakan kepada Siska bahwa perkembangan kantung rahimnya (gestasional sac) tidak sesuai dengan usia kehamilan karena janin tidak berkembang. Dokter menyarankannya untuk menunggu kehamilannya akan luruh sendiri.

Tidak puas dengan diagnosa tersebut, Siska mencoba mencari second opinion. Tapi akhirnya kandungannya gugur juga. Pada kehamilan yang kedua, Siska lagi-lagi mengalami perdarahan hebat dan saat di-USG (ultrasonografi), kantung rahimnya kosong. Dokter mendiagnosa Siska mengalami blighted ovum,dimana perkembangan kantung rahim tidak sesuai dengan usia kehamilan. “Memang pada dua kehamil-an itu, dokter sudah menganalisa bahwa kemungkinan janin tidakberkembang,” ujar mantan wartawan ini.

Saat hamil lagi untuk ketiga kalinya, Siska memang telah mempersiapkan mentalnya. Ia tidak ingin terbawa gembira, lalu mendapati kekecewaan seperti sebelumnya. “Rasanya sedih, sekaligus trauma. Kabar kehamilan sendiri selalu dihadapi dengan kecemasan,”ceritanya.

Namun, menurut dokter kandungannya, kehamilan blighted ovum dua kali masih tergolong normal. Biasanya kehamilan yang ketiga akan berhasil. Dan, pendapat itu ternyata benar.“Rasanya senang sekali, seperti mimpi,” ungkapnya. Sekarang, Siska telah menjadi mama dari Anandia Miftah Rahadian (5 bulan). Kecemasan dan penantian selama bertahun-tahun terbayar sudah.

Pengalaman Siska di atas mungkin pernah dialami oleh sahabat, keluarga, bahkan diri kita sendiri. Untuk itu, calon mama perlu waspada dan mengetahui gejala-gejala komplikasi, cara mencegah dan penanggulangannya. Berikut lima jenis komplikasi yang umum menyertai kehamilan.

Pra eklampsia
Pra eklampsia atau juga dikenal dengan toxemia, adalah kondisi dimana kehamilan disertai dengan naiknya tekanan darah meski tanpa adanya riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya pada calon mama. Gejala umumnya antara lain: Naiknya tekanan darah secara signifikan semasa kehamilan, ditemukannya protein di dalam urin, pusing kepala, iritasi, berkurangnya urin, nyeri abdomen, pandangan mengabur, serta bengkak dan nyeri pada beberapa bagian tubuh seperti wajah, tangan dan kaki akibat penumpukan cairan.
Apa sebenarnya penyebab dari praeklampsia ini? Jawabannya belum diketahui secara pasti. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Harvard Medical School dan Beth Israel Deaconess Medical Center tahun 2003 lalu menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi ibu hamil untuk menderita praeklampsia adalah sebanyak 5-8 persen.

Meski angka risiko ini terbilang rendah, namun pra eklampsia merupakan penyebab utama kematian ibu saat melahirkan, terutama di negara-negara berkembang. Kriteria calon mama yangrisikonya paling tinggi menderita komplikasi ini antara lain kehamilan lebihdari satu janin (multiple pregnancy), hamil di usia remaja, hamil diusia lebih dari 40 tahun, serta adanya riwayat terkena darah tinggi, diabetesataupun penyakit ginjal, baik pada si calon mama maupun kerabat dekat.

Perawatan yang dilakukanterhadap penderita praeklampsia tergantung pada kondisi calon mama. Ada yang perlu mendapat perawatan intensif di rumah sakit, atau cukup dengan bedrest di rumah. Yang pasti, pengobatan untuk menurunkan tekanan darah serta pengawasan terhadap kondisi calon mama dan janin perlu dilakukan terus menerus.
Umumnya, penderita pra eklampsia melahirkan dengan operasi Caesar untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Seperti yang dialami oleh Mia (37), mama dari Pesona Khayangan, Depok. Mama empat anak ini menderita pra eklampsia tanpa gejala di kehamilannya yang ketiga. Saat itu, tekanan darah Mia terus menerus naik sehingga dokter menyarankan untuk melakukan sectio-caesar di usia kehamilan 37 minggu. “Dokter bilang, membahayakan buat ibu dan bayi kalau tekanan darah naik terus. Sedangkan di usia 37 minggu paru-paru bayi sudah cukup matang. Maka untuk kebaikan semua, akhirnya diputuskan untuk operasi,” cerita Mia.

Kehamilan ektopik
Kehamilan ektopik terjadi apabila janin berkembang di luar rahim. Setelah terjadi pembuahan, zigot hasil penggabungan sel sperma dan ovum menempel di jaringan selain dinding rahim dan menetap serta berkembang di jaringan tersebut. Perkembangan janin ini bisa terjadi di tuba fallopi, kanal serviks, pelvis atau rongga abdomen. Kehamilan ektopik dapat terjadi hingga 50 persen dari  kehamilan yang ada.

Penyebabnya umumnya jalur tuba fallopi yang terblokir. Calon mama yang berisiko tinggi menderita komplikasi ini adalah mereka yang pernah menjalani proses sterilisasi tuba dibawah usia 30 tahun.

Menurut dr. Shinta Utami, SpOG, dari Rumah Sakit Bunda Margonda, Depok, salah satu faktor yang juga mungkin bisa menyebabkan kehamilan ektopik adalah infeksi. Infeksi yang terjadi di vaginadapat mempengaruhi kualitas sel sperma dan ovum sehingga ada kemungkinan saat pembuahan, zigot tidak dapat mencapai rahim, “Akhirnya cuma bisa naik ke panggul, lalu nyangkut di tuba,” jelas dr. Shinta.

Gejala kehamilan ektopik bervariasi mulai dari munculnya flek hingga rasa nyeri. Biasanya, untuk mengetahui ada-tidaknya kehamilan ektopik, digunakan screening dengan ultrasound. Penanganan yang dilakukan bagi calon mama yang mengalami kehamilan ektopik bisa berupa pengobatan atau operasi pengangkatan janin yang biasanya berakhir dengan gugurnya janin.

Venna (28), dari Kebon Jeruk, Jakarta, pernah mengalaminya. “Saat janin berusia 5 minggu, saya mengalami rasa nyeri di perut bagian kanan,” ujar Venna. Setelah dicek ke dokter ahli kandungan, Venna ternyata mengalami kehamilan ektopik pada tuba fallopi kiri, yang kemudian dikeluarkan dengan cara laparaskopi. Syukurlah, Venna tidak merasa trauma. Hingga kini, Venna yang sudah menikah selama dua tahun masih berusaha mengusahakan keturunan bersama suaminya. “Pengalaman mengalami kehamilan ektopik malah menguatkan mental saya. Saya menjadi termotivasi untuk kembali hamil, dan hidup lebih bersih dan sehat,” ujarnya


Perdarahan
Perdarahan saat kehamilan adalah perdarahan vagina yang terjadi di masa kehamilan yang umumnya mengacu pada perdarahan abnormal, bukan bagian dari menstruasi. Perdarahan atau hemorrhage merupakan sebab umum penyebab kematian ibu hamil di Amerika.
Biasanya, perdarahan vagina merupakan hal yang umum pada kehamilan trimester pertama dan mempengaruhi 20-30 persen dari total kehamilan yang ada. Namun hal ini tetap perlu diwaspadai. Karena ada kalanya perdarahan pada trimester pertama kehamilan merupakan tanda komplikasi serius seperti perkembangan janin yang tidak normal, gugurnya janin dalam kandungan(abortus) hingga kehamilan molar (kehamilan dimana yang berkembang bukanlah janin tetapi jaringan tertentu yang dapat berkembang menjadi kanker).

Seperti yang dialami Siska, yang terdiagnosa mengalami blighted ovum. Siska mengalami perdarahan hingga kandungannya gugur sebanyak dua kali. Syukurlah, perdarahan tidak dialaminya pada saat kehamilan ketiga. “Dari bulan pertama oke, kedua oke, ketiga oke, keempat oke.... wah, rasanya senang sekali!,” ungkapnya.
Perdarahan yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan seterusnya umumnya dianggap tidak normal. Terutama perdarahan yang terjadi setelah usia kehamilan mencapai 28 minggu. Perdarahan pada masa ini bisa jadi pertanda adanya komplikasi plasenta maupun infeksi vagina atau serviks. Perdarahan yang terjadi bisa samar tanpa rasa sakit, atau perdarahan hebat yang diikuti oleh nyeri abdomen. Penanganan pada calon mama yang mengalami perdarahan bervariasi tergantung diagnosa selanjutnya, mengenai apa yang menyebabkan perdarahan. Perawatan bisa berupa pengobatan ataupun rawat inap di rumah sakit.

Plasenta previa
Plasenta previa merupakan kondisi dimana sel telur yang telah dibuahi oleh sperma bergulir dan menempel dekat dengan mulut rahim atau menutup mulut rahim sehingga plasenta otomatis menutup jalan lahir. Normalnya, plasenta seharusnya terletak di bagian atas dinding rahim. Kondisi ini muncul dalam perbandingan satu di antara 200 kelahiran dan lebih banyak muncul pada calon mama yang memiliki luka di dinding rahimnya akibat kehamilan sebelumnya, atau pada calon mama yang pernah menjalani operasi saluran rahim.
Gejala yang dialami calon mamayang menderita plasenta previa bisa berupa perdarahan vagina yang umumnya tidak disertai dengan nyeri. Untuk mendiagnosa apakah seorang calon mama menderita plasenta previa, dilakukan pemeriksaan fisik dan pengecekan dengan ultrasound. Perawatan yang dilakukan seperti penyesuaian aktivitas maupun bedrest,  tergantung pada kondisi kehamilan. Umumnya, calon mama yang menderita plasenta previa disarankan melahirkan secara Caesar untuk mencegah plasenta luruh lebih cepat yang dapat memutus suplai oksigenpada janin.
Puja (33), mama dari Jagakarsa, Ciganjur, membagi kisahnya saat mengalami plasenta previa. Saat sedang mengandung, Puja berulang kali dirawat di rumah sakit karena komplikasi kehamilan yang dialaminya. “Awalnya hanya flek yang kemudian berlanjut dengan perdarahan hebat sebanyak tiga kali. Sebelumnya, tidak ada tanda-tanda sama sekali. Dokter hanya menyarankan istirahat,” ujar Puja yang kemudianterdiagnosa mengalami plasenta previa. Hal ini baru diketahui setelah kehamilannya memasuki usia 31 minggu. Karena plasenta previa yang dialaminya,janin yang dikandungnya kesulitan memperoleh asupan gizi. Berat janin terus berada di bawah 2 kg. Ia kemudian dirawat kedua kalinya agar berat janin dapat naik.

Puja diharuskan bedrest total serta berhenti bekerja. Selama di rumah sakit, ia mendapatkan suntikan penguat paru untuk sang janin, infus, serta obat untuk mengurangi kontraksi. Saat ketiga kalinya masuk rumah sakit, hemoglobin darah Puja terus menurun. Dokter kemudian menyarankan untuk segera operasi Caesar sehingga Puja terpaksa melahirkan prematur, yakni di usia kehamilan 34 minggu. Sekarang, mama dari Saybia Atthiyana Pradipta (4) ini boleh bernafas lega karena meski lahir prematur, Saybia tumbuh dengan sehat.

Menurut dr. Shinta, plasenta previa tidak dapat dicegah tapi dapat dideteksi dini agar calon ibu dapat segera mendapat perawatan yang tepat. “Segera setelah positif hamil, lakukan USG awal, apa benar hamil. Yang sering terjadi adalah calon ibu terlalu cepat atau terlambat dalam mengecek kandungannya,” tuturnya. Karena itu, ia menekankan pentingnya cek kehamilan rutin dan mengadakan tes untuk melihat kondisi ibu dan bayi.

Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (DG) adalah kondisi naiknya gula darah calon mama, dengan maupun tanpa riwayat diabetes sebelumnya. Komplikasi ini bisa mempengaruhi setidaknya 4 persen dari total jumlah ibu hamil. Gejala yang muncul di antaranya: Meningkatnya kadar gula dalam darah ibu hamil secara signifikan, pandangan mengabur, limbung, muntah,haus berkepanjangan serta meningkatnya frekuensi buang air kecil.

Penyebab komplikasi ini tidak diketahui secara spesifik. Namun ada indikasi yangmenunjukkan bahwa hormon yang diproduksi selama kehamilan meningkatkan resistensi calon mama terhadap insulin (insuline resistance), sehingga tubuh calon mama tidak dapat memproses insulin seperti seharusnya.
Risiko bagi janin dengan calon mama yang menderita DG adalah bayi lahir dengan berat lebih dibanding umumnya atau bayi ‘besar’ (macrosomia). Karena gula darah yang ada pada mama akan tersalurkan pada bayi, maka bayi pun cenderung memiliki kadar gula darah tinggi dan setelah lahir berisiko untuk menjadi penderita diabetes. Umumnya, kadar gula darah mama yang menderita DG akan menurun beberapa waktu setelah melahirkan. Namun ada pula kasus dimana kadar gula darah mama tetap tinggi sehingga mama tetap tinggi sehingga mama menderita Diabetes Melitus (DM).
Risiko menderita DG besar terjadi pada ibu yang dalam keluarganya terdapat riwayat penderita diabetes. Hal ini dialami oleh Wahida (32), warga Sidoarjo, Jawa Timur. Mama dari Omar Charis Atthabrizi (8) dan Namira Bai’atifa Azzahra (5,5) ini terdiagnosa DG pada dua kehamilan yang dialaminya. Kadar gulanya naik tinggi hingga ia harus menerima suntikan insulin setiap hari selama kehamilan. “Karena ibu hamil tak boleh mengonsumsi obat yang diminum, saya belajar untuk menyuntik di bawah panduan dokter,” ujarnya. Setelah anak pertama lahir, gula darahnya berangsur turun. Namun setelah melahirkan anak kedua, gula darahnya tetap tinggi.“Ternyata berlanjut hingga DM,” ceritanya. Penanganan penderita DG umumnya berupa pengobatan untuk mengontrol kadar gula darah seperti pemberian insulin serta pengaturan pola makan yang sehat.

Setelah mengenal lebih jauh komplikasi umum yang dapat menyertai kehamilan, yang manakah yang paling perlu kita waspadai? Jawabannya, semua. Menurut dr. Shinta, semua jenis komplikasi ini sama berbahayanya. Tentu, mama perlu tetap tenang. Agar janin sehat, “Perbanyak nutrisi, konsumsi vitamin dan istirahat yang cukup,” tuturnya. Jika pola hidup sehat sudah dijalankan, tak perlu terlalu khawatir lagi bukan?

KEGUGURAN
Keguguran adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu. Sayangnya, keguguran bisa terjadi pada sekitar 10-15% kehamilan. Jika keguguran terjadi secara berturutan (sampai 2 kali atau lebih), ini disebut keguguran berulang dan perlu tes khusus untuk mencari penyebab.


BILA ANDA INGIN CEPAT HAMIL DAN MEMILIKI ANAK SEGERA KONSUMSILAH OBAT HAMIL SUNFLOWER 
Add caption


HARGA : Rp 95.000,00
NO HP : 0896 0575 9071
EMAIL : BersamaMarketing@GMail.Com